Friday, 26 April 2019

Susahnya Mengikuti Pesta Demokrasi


Pesta demokrasi atau yang kita kenal sebagai pemilu memang dilaksanakan sekali dalam lima tahun. itu biasanya dilakukan untuk memilih anggota DPR RI, anggota DPRD Propinsi, anggota DPRD kabupaten/kota dan anggota DPD yang mewakili propinsi untuk bertarung di MPR. Pemilu memang mengharuskan kita memilih sangat banyak anggota legislatif. Para calon anggota yang dipilih dari berbagai tingkatan itu semua berlomba-lomba untuk memasang baliho yang besar-besar di jalan, di pertokoan di persimpangan jalan dan dimana saja baliho itu bisa dan boleh disisipkan. Selain baliho para calon legislator atau parlementer ini juga turun ke lapangan door to door ataupun juga membuat sebuah kampanye akbar ikut yang dimeriahi artis-artis ibukota agar menjadi bagian dari dari tiap kategori legislatif yang dituju.
Cuma ada yang unik dengan pemilu pada tahun sekarang ini yakni dibarengi dengan pemilihan presiden dan wakil presiden juga. Karena terkendala oleh presidensial threshold yang 20% maka calon yang ada berkompetisi hanya 2 orang saja. Karena yang berkompetisi hanya dua orang, suasana politik juga terbagi atas dua kutub saja. Walaupun ILC di TVOne ini merupakan sebuah el Clasico seperti antara Real Madrid dan Barcelona, tapi bisa dikatakan ini bukanlah el Clasico yang sebenarnya.
Sebenarnya tidak ada sebuah el clasico dalam pemilihan presiden ini. Pertandingan yang bernama El Clasico antara Real Madrid dan Barcelona yang punya rentetan panjang dalam history pertandingannya. El clasico itu terjadi sudah berulang-ulang kali dengan kemenangan dominan dipegang oleh barcelona. Menilik kepada pertarungan yang sudah lama berulang kali terjadi, kita tidak bisa kita bandingkan dengan pemilihan presiden yang sekarang. Pertandingan antar calon presiden yang sekarang hanya baru berlangsung sekali dan baru memasuki pertandingan kedua. Proporsi menang atau kalah hanya tunggal, sekali mengalahkan dan sekali memang. Sehingga bisa dikatakan el clacico bukanlah sebuah perumpamaan yang tepat namun  cebong dan kampret. Sebuah istilah aneh, namun begitulah realitanya. Karena berbagai kondisi inilah, kami juga semangat untuk ikut serta dalam pesta demokrasi ini.
Apa yang diingikan memang tak selalu sesuai dengan kenyataan. Semangat kami ingin mengikut pesta demokrasi menghadapi berbagai macam rintangan. Walaupun kami sudah terdaftar di website KPU sebagai pemilih tetap, kami tetap ingin mendapatkan undangan resmi berupa C6. C6 ini bukan merupakan simbol yang begitu jelas, iya kan saja apa itu C6. Alamat yang tertera pada web KPU merupakan alamat KTP kami di Kabupaten ini dan alamat tersebut merupakan alamat kontrakan kami sebelumnya. Jarak kontrakan dengan domisili kami sekarang sekitar empat kiloan sehingga cukup memakan jarak dan waktu. Kami cek beberapa kali ke kontrakan lama memang namun tidak membuahkan hasil C6 yang diingikan ternyata entah berada dimana.


Contoh salinan Formulir C6 yang berasal dari KPU
Pada hari berikutnya hal yang sama kami lakukan lagi. Namun, hasil yang sama terulang kembali. Barulah pada H-1 menjelang pemilu kami mendapat jawabannya. Jawaban ini didapatkan dari Bang Icon, mitra kerja istri yang pada pemilu kali ini berperan sebagai panwaslu. Beliaulah yang menemani saya untuk bertemu dengan ketua KPPS tempat kami mencoblos nantinya. C6 saya terima tetapi C6 istri tidak ada pada pak KPPS tersebut. Ini mengherankan padahal data kami berada dalam urutan yang berurutan yang bersumber dari Kartu Keluarga yang sama.
Usut punya usut ternyata, C6 istri berada pada rumah ibu kontrakan yang terselip sedangkan punya saya berada pada pak KPPS. Warga sekitar tahu dengan nama lengkap istri sedangkan nama lengkap saya, warga dan ibu kontrakan tidak tahu. Yang mereka tahu hanyalah nama panggil saya. Begitulah resiko nama lengkap dengan nama panggilan berbeda. Jadi, bagi anda yang ingin memberi nama anak, sebaiknya berikan nama panggilanyang sesuai dengan nama lengkap agar tidak separah tetangga saya di kampung. Nama lengkapnya Hero P***** R***** sedangkan nama panggilannya Toni. Jadi, Inga Inga Ting

0 comments:

Post a Comment