Pesta demokrasi atau
yang kita kenal sebagai pemilu memang dilaksanakan sekali dalam lima tahun. itu
biasanya dilakukan untuk memilih anggota DPR RI, anggota DPRD Propinsi, anggota
DPRD kabupaten/kota dan anggota DPD yang mewakili propinsi untuk bertarung
di MPR. Pemilu memang mengharuskan kita memilih sangat banyak anggota
legislatif. Para calon anggota yang dipilih dari berbagai tingkatan itu semua
berlomba-lomba untuk memasang baliho yang besar-besar di jalan, di pertokoan di
persimpangan jalan dan dimana saja baliho itu bisa dan boleh disisipkan. Selain
baliho para calon legislator atau parlementer ini juga turun ke lapangan door
to door ataupun juga membuat sebuah kampanye akbar ikut yang dimeriahi
artis-artis ibukota agar menjadi bagian dari dari tiap kategori legislatif yang
dituju.
Cuma ada yang unik
dengan pemilu pada tahun sekarang ini yakni dibarengi dengan pemilihan presiden
dan wakil presiden juga. Karena terkendala oleh presidensial threshold yang 20%
maka calon yang ada berkompetisi hanya 2 orang saja. Karena yang berkompetisi
hanya dua orang, suasana politik juga terbagi atas dua kutub saja. Walaupun ILC
di TVOne ini merupakan sebuah el Clasico seperti antara Real Madrid dan
Barcelona, tapi bisa dikatakan ini bukanlah el Clasico yang sebenarnya.
Sebenarnya tidak ada
sebuah el clasico dalam pemilihan presiden ini. Pertandingan yang bernama El Clasico
antara Real Madrid dan Barcelona yang punya rentetan panjang dalam history
pertandingannya. El clasico itu terjadi sudah berulang-ulang kali dengan
kemenangan dominan dipegang oleh barcelona. Menilik kepada pertarungan yang sudah
lama berulang kali terjadi, kita tidak bisa kita bandingkan dengan pemilihan
presiden yang sekarang. Pertandingan antar calon presiden yang sekarang hanya
baru berlangsung sekali dan baru memasuki pertandingan kedua. Proporsi menang
atau kalah hanya tunggal, sekali mengalahkan dan sekali memang. Sehingga bisa
dikatakan el clacico bukanlah sebuah perumpamaan yang tepat namun cebong dan kampret. Sebuah istilah aneh, namun
begitulah realitanya. Karena berbagai kondisi inilah, kami juga semangat untuk
ikut serta dalam pesta demokrasi ini.
Apa yang diingikan
memang tak selalu sesuai dengan kenyataan. Semangat kami ingin mengikut pesta
demokrasi menghadapi berbagai macam rintangan. Walaupun kami sudah terdaftar di
website KPU sebagai pemilih tetap, kami tetap ingin mendapatkan undangan resmi
berupa C6. C6 ini bukan merupakan simbol yang begitu jelas, iya kan saja apa
itu C6. Alamat yang tertera pada web KPU merupakan alamat KTP kami di Kabupaten
ini dan alamat tersebut merupakan alamat kontrakan kami sebelumnya. Jarak kontrakan
dengan domisili kami sekarang sekitar empat kiloan sehingga cukup memakan jarak
dan waktu. Kami cek beberapa kali ke kontrakan lama memang namun tidak
membuahkan hasil C6 yang diingikan ternyata entah berada dimana.
Contoh salinan Formulir C6 yang berasal dari KPU
Pada hari berikutnya hal
yang sama kami lakukan lagi. Namun, hasil yang sama terulang kembali. Barulah pada
H-1 menjelang pemilu kami mendapat jawabannya. Jawaban ini didapatkan dari Bang
Icon, mitra kerja istri yang pada pemilu kali ini berperan sebagai panwaslu.
Beliaulah yang menemani saya untuk bertemu dengan ketua KPPS tempat kami
mencoblos nantinya. C6 saya terima tetapi C6 istri tidak ada pada pak KPPS
tersebut. Ini mengherankan padahal data kami berada dalam urutan yang berurutan
yang bersumber dari Kartu Keluarga yang sama.
Usut punya usut
ternyata, C6 istri berada pada rumah ibu kontrakan yang terselip sedangkan
punya saya berada pada pak KPPS. Warga sekitar tahu dengan nama lengkap istri
sedangkan nama lengkap saya, warga dan ibu kontrakan tidak tahu. Yang mereka
tahu hanyalah nama panggil saya. Begitulah resiko nama lengkap dengan nama panggilan
berbeda. Jadi, bagi anda yang ingin memberi nama anak, sebaiknya berikan nama
panggilanyang sesuai dengan nama lengkap agar tidak separah tetangga saya di
kampung. Nama lengkapnya Hero P***** R***** sedangkan nama panggilannya Toni. Jadi, Inga Inga Ting